Lagi mendung-mendung gini, enaknya kan ngemil. Nah, sambil ngemil mending kalian baca cerpen aja. Kalo nggak ada yang mau dibaca, mending baca cerpenku aja teman. haha
Ini cerpen tak buat soalnya ada tugas suruh buat cerpen bahasa indonesia. Di suruh Bu Nanik dan syaratnya buat minimal 6 lembar.
Nah, pas tau suruh bikin cerpen sebegitu banyaknya, biasa lah pelajar langsung kaget :D
Tapi ternyata nggak taunya kalo udah buat terus udah nemu idenya, enak aja buatnya gitu. Saran Bu Nanik kalo buat cerpen itu satu kali duduk langsung jadi.
Cerpen ini tak kerjain dari jam 7 malem sampe jam 11 malem. Dan nggak taunya dapet 11 lembar. Betapa senangnya. Hahaha ^^
Semoga bisa buat inspirasi kalian yaa.
Cekidot aja.
ENTAHLAH
Tik tik tik, gemericik hujan menemani
kesendirianku di rumah mungilku ini, ibu dan ayahku entahlah kemana.
“Mbak,
tadi siang ada temenmu tuh?”
“Iya
Dek, iya. Tadi udah sms, mbak tadi baru pergi.”
Nino.
Ya dia adalah adikku satu-satunya, dia adalah adik yang paling baik deh,
dijamin.
“Tata,
ke kantin yuk!” ajak temenku, Frida. Yap, itu namaku, Tata. Aku masih duduk di bangku
kelas 5 di salah satu SD yang bisa dibilang bagus di desaku.
“Ayok
Da, kantin belakang aja ya?” ajakku.
Frida.
Dia adalah salah satu teman baikku sebelum semua hal yang buruk terjadi yang
akhirnya membuat Frida menjadi teman terburukku.
“Depan
aja deh Ta. Bosen di belakang, lagian di depan baru ada batagor tuh,” jawabnya.
“Okelah
Da, tapi nanti anterin aku ke kantin belakang ya?”
“Nanti
kamu ke kantin sendiri aja ya Ta. Soalnya aku nanti langsung mau ngelanjutin
PR-ku.”
“Yaudah
de Da kalo gitu,” jawabku pasrah.
Aku
dan Frida jajan ke depan. Mumpung ada batagor juga, kita langsung capcus
deh.
“Ta,
bawain jajanku dong!”
“Ya,
sini tak bawain Da. Aku minta boleh nggak?”
“Makasih
Ta. Kamu udah jajan juga kan?”
“Iyasih
Da, cuma pengen nyoba yang kamu beli ini.”
“Nanti
aja ya Ta, kalo aku nggak abis.”
“Yaudah
deh Da.”
Entahlah
aku pasrah aja sama apa yang dilakuin Frida sama aku waktu itu.
Teeettttt,
teeetttt, teeeetttt.
Bel tanda masuk berbunyi dengan lantangnya.
Pelajaran Bahasa Indonesia yang kusenangi pun akhirnya datang juga.
“Hari
ini kita belajar tentang cerita pendek anak-anak,” jelas Bu Eni, wali kelasku.
“Iya
bu Eni,” jawab siswa dengan tegas.
Sampai
akhirnya setiap siswa disuruh untuk membuat cerpen pengalaman pribadi. Hal yang
menyulitkan bagiku. Membuat cerpen adalah salah satu hal tersulit yang pernah
ku kerjakan, entahlah walaupun sulit tapi aku senang menjalaninya.
“Cerpen
lagi?” keluhku.
“Haha
kamu kenapa Ta, semangat dong,” seru Saras.
“Haha
iya Ras, iya. Udah liat belum tampang-tampang semangat kayak apa?”
“Belum
tuh, emang gimana Ta?”
“Ah
kamu mah kudet, liat aku dong Ras, ini muka-muka semangat namanya.
Hahaha” . Candaku ke Saras sambil menunjukkan wajahku dengan tampang memelas.
“What?
Semangat dari mananya Ta? Muka-muka kurang makan mah percaya. Hahaha,” ejek
Saras.
“Ah
kamu Ras, ngejek aja bisanya.”
“Duh,
maaf deh maaf.”
“Hem,”
jawabku dengan nada singkat.
“Eh,
tadi bercanda doang loh Ta.”
“Y,”
jawabku.
“Jangan
marah dong Ta, please Ta, please.”
“Haha
kamu kenapa Ras? Kena deh, akhirnya kamu mohon-mohon ke aku buat minta maaf
kan? Bercanda loh Ras hehehe,” candaku.
“Ah
kamu, kirain beneran. Awas aja kamu Ta,” ejek Saras.
“Enggak
lah buat apa marah Ras! Iya deh iya, maafin ya.”
“Hem.”
“Hahahahahaha,”
tawaku serempak dengan Saras.
Saras.
Dia adalah sahabat terbaik yang aku punya selama aku berada di SD. Saras teman
deket sekaligus tetanggaku, setiap hari kita selalu main bareng, walaupun
entahlah apa yang dimainin. Hahaha.
“Ta,
udah selesai buat cerpennya?” tanya Frida
“Alhamdulillah
udah Da, kamu udah?”
“Belum
Ta, bingung aku. Daritadi mikir nggak ketemu-ketemu.”
“Oalah,
terus kamu udah mulai nulis belum?”
“Udah,
judulnya aja. Bingung sih. Ohiya Ta, aku boleh minta tolong nggak?”
“Minta
tolong apa Da?”
“Emmm,
jadi gini Ta, aku minta tolong nanti bukuku kamu bawa pulang terus kamu garapin
semuanya ya, aku bingung e.”
“Oh
jadi gitu, yaudah deh Da. Besok harus selesai nih?”
“Usahain
ya Ta.”
“Ya
Da,” jawabku.
Entahlah
aku mau aja disuruh Frida waktu itu.
Akhirnya
bel pulang udah berbunyi. Seperti biasa aku pulang bareng Saras. Sebelum pulang
mampir ke kantin belakang dulu buat ambil barang untuk dibawa pulang, soalnya
yang jualan di kantin itu tantenya si Saras. Seperti biasa aku membantu Saras membawa
barang-barangnya. Akhirnya kita pulang sama-sama sambil bercandaan seperti
biasa.
“Ta,
kamu diapain lagi sama Frida?”
“Haha,
nggak papa kok Ras.”
“Ah,
masak iya. Mukamu keliatan sedih loh Ta.”
“Ah
masak sih. Nih mukaku udah lucu kan ? Hahaha,” candaku sambil menjukkan mukaku.
“Ah
kamu mulai lagi Ta. Udah lucu kok, tapi tetep lucuan aku kok tenang aja.
Hahaha.”
“Ah
kamu Ras, haha.”
“Hahaha.
Ohiya Ta, kalo ada masalah cerita ke aku ya.”
“Siap
tenang aja Ras, makasih banyak ya.”
“Iya
Ta, sama sama.”
Setelah
sampai di rumah seperti biasa ada Nino, dia baru ngerjain PR-nya yang katanya
sih susah. Biasanya disuruh ngajarin ayah tapi belum pulang.
“Ngerjain
apa Dik?” tanyaku.
“Haha,
ngerjain soal kayak biasa Mbak.”
“Haha
okelah,” jawabku singkat.
Waktu
itu hujan mulai turun menemani siangku untuk belajar. Tiba-tiba aku teringat
cerpen dari Frida. Langsung ku kerjakan semuanya tanpa basa-basi.
“Oke
Ta, sabar-sabar, kamu harus sabar,” kataku dalam hati.
Keesokan
harinya seperti biasa, aku berangkat ke sekolahku tercinta. Rasa malas
menghinggapi badanku hari ini, serasa tidak ada daya yang kupunya.
“Aku
capek setiap hari diginiin Frida,” batinku menggerutu.
“Ya,
aku capek, tapi…” tiba-tiba ibu membuyarkan lamunanku dengan suaranya
lantangnya.
“Nih,
uangnya Ta, buruan berangkat keburu telat.”
“Iya
Buk, makasih. Tata berangkat dulu. Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Sampai
di sekolah, Frida udah menunggu di depan kelas.
“Pagi
Ta, cerpenku udah kan?” tanya Frida.
“Pagi
juga Da. Iya udah kok,” jawabku.
“Mana
Ta? Buruan ya takutnya temen yang lain pada liat.”
“Ya
Da. Ini maaf kalo jelek.”
“Nggak
papa Ta.”
Bel
masuk berbunyi. Hari ini aku jejer Frida lagi, rasanya pengen jejer yang lain
tapi pasti Frida marah kalo aku pindah. Entahlah.
“Ta,
tolong kerjain ini dong.”
“Maaf
Da aku nggak bisa, aku juga belum selesai.”
“Ah
kamu Ta, yaudah deh!”
“Maaf
Da.”
Tapi
Frida diam saja, dia marah karena aku nggak mau ngerjain soalnya. Akhirnya aku
membujuk dia dengan cara apapun agar dia nggak marah lagi.
“Da,
kamu marah sama aku?”
Tak
ada jawaban. Tetapi akhirnya Frida membuka mulutnya.
“Nanti
aku bilang sama temen-temen kalau kamu nggak peduli sama aku.”
“Loh
kok gitu Da, kan kamu yang nyuruh aku ngerjain soalmu kan?”
“Loh,
kok kamu nyalahin aku. Kenapa kamu nggak mau?”
“Loh,
terserah aku dong Da.” Jawabku.
“Haha,
oke. Sekarang terserah kamu aja. Aku mau bilang ke yang lain sekarang,”
tantangnya.
“Loh
Da, kok kamu gitu?”
“Terserah
aku dong, suka-suka gue Ta. Ini mulut juga mulutku kok.”
“Loh
Da, kamu jangan fitnah yang enggak-enggak.”
“Kamu
mohon-mohon juga aku nggak kasihan. Tunggu aja kamu dicuekin sama temen-temen,”
“Loh
Da,” jawabku.
“Kenapa
Ta, nggak mau dicuekin? Kerjain soalku dong.”
“Yaudah
de Da daripada nambah masalah. Mana soalnya? Tapi kamu jangan fitnah ke
temen-temen,” jawabku pasrah.
“Enggak,
makasih Tata cantik.”
“Ya.”
Pas
waktu istirahat, aku masih ngerjain soalnya Frida. Sedangkan Frida udah enakan
jajan. Tiba-tiba ada temenku datang. Namanya Adi.
“Ta,
kamu nggak jajan?”
“Haha
enggak Di, belum selesai.”
“Loh
belum selesai? Kayaknya tadi kamu bilang udah selesai?”
“Masih
kurang dikit.”
“Ah
bohong, aku tau kok.”
“Tau
apaan Di?”
“Pasti
kamu disuruh ngerjain soalnya Frida kan?” tebak Adi.
“Haha,
enggak tuh. Ini soalku Di,” jawabku mengelak.
“Ah
bukan, itu soalnya Frida. Jujur ajadeh Ta.”
“Haha,
okelah. Ya begitu lah Di,” jawabku pasrah.
“Nah
kan bener. Sabar aja ya Ta.”
“Haha
yoi Di, makasih.”
“Oke,
aku duluan Ta.”
“Yap.”
Keesokan
harinya di sekolah. Entah apa yang diomongin Frida ke teman-teman sehingga
semua temanku seperti jadi berbeda denganku. Entahlah.
“Ca,
jajan yuk?” ajakku kepada Caca salah satu temenku.
“Eh,
aku enggak jajan Ta, maaf ya.”
“Ohyaudah
nggak papa Ca.”
“Jajan
yuk Sa?” ajakku ke Lisa.
“Kamu
jajan sama Frida aja ya.”
“Frida?”
“Iya
Frida, dia kan teman terbaikmu!”
“Loh,
maksudmu apa Sa?”
“Nggak
papa kok Ta, aku duluan ya, daripada aku dimarahin.”
“Ha?
Dimarahin siapa? Aku nggak dong Sa.”
“Frida.
Duluan ya Ta.”
“Yaudah
oke Sa,” jawabku.
“Frida?
Dimarahin Frida? Maksudnya apa?” hatiku bertanya-tanya.
Tiba-tiba
Saras datang.
“Eh,
Ras jajan yuk? Kamu belum jajan kan?” ajakku.
“Yuk
Ta, belum kok,” jawabnya.
“Ras,
kamu tau apa yang diomongin Frida ke teman-teman?” tanyaku.
“Frida?”
tanyanya.
“Iya
Frida, Ras. Tadi teman-teman pada bilang ‘kamu sama Frida aja Ta’ maksudnya apa
sih Ras?” tanyaku bingung.
“Oh
Frida. Emmm, entahlah Ta,” jawabnya dengan nada menyembunyikan.
“Kamu
beneran nggak tau Ras? Kamu kok bingung gitu?” tanyaku.
“Bingung?
Enggak Ta biasa aja. Beneran aku nggak tau, kalo besok aku tau pasti ku
ceritain ke kamu deh. Janji.”
“Beneran
ya Ras, janji loh,” candaku.
“Emmmm,
iya Ta, iya.”
“Sip.
Tapi kok kamu kayak bingung gitu ya Ras, cerita dong.”
“Ha?
Bingung enggak kok.”
“Ah
nggak mungkin. Keliatan banget Ta. Apa kamu tau yang diomongin Saras?” tanyaku
tambah penasaran.
“Emmm,
sebenarnya iya Ta. Aku sedih.”
“Sedih?
Emangnya Frida ngomong apa Ras?”
“Ta?
Aku takut,” kata Saras sedih.
“Takut
kenapa Ras? Sedih kenapa?”
“Ta?
Frida ngomong katanya jangan ada yang boleh deketin kamu selain dia, kalau
sampai ada yang akrab sama kamu, dia akan marahin kita semua, dan ngelakuin hal
yang enggak-enggak. Aku takut kalau lama-kelamaan hubungan kita akan renggang
Ta. Aku sedih,” jelasnya.
“Da,
kamu jahat! Padahal kamu udah janji nggak bakal bilang fitnah ke teman-teman.
Tapi apa kenyataannya?” kataku dalam hati sambil menahan tangis.
Betapa
remuk hatiku mendengar cerita Saras. Teganya Frida ngelakuin itu, janji palsu
yang Frida berikan kepadaku saat itu.
“Frida
ngomong kayak gitu?” tanyaku sambil menahan tangisanku.
“Iya
Ta, Frida bilang gitu tadi aku sempet mau nangis,” jawabnya sedih.
“Saras?”
“Udah
ya Ta, kamu yang sabar, nggak usah nangis, nanti kamu diemin aja Frida,”
sarannya.
“Tapi
Ras.”
“Udah
nggak papa, Ta.”
“Tapi
sekarang teman-teman udah beda Ras.”
“Semuanya
udah takut dan terpengaruh sama omongannya Frida tadi, sampai-sampai
teman-teman tadi ku ajak jajan nggak mau,” tambahku.
“Enggak
gitu kok Ta, kamu yang sabar ya, aku tetep dukung kamu,” dukungnya.
“Iya,
makasih Ras, makasih banyak.”
“Frida,
kamu jahat,” batinku benar-benar menjerit sekarang.
Keesokan
harinya Caca dan Lisa menghampiri aku ke rumah. Betapa senangnya masih ada
temen yang peduli sama aku.
“Tata,
Tata,” panggil mereka.
“Eh
kalian, bentar ya. Aku mau ambil tas dulu,” jawabku.
“Iya
Ta, kita tungguin.”
Setelah
aku selesai beres-beres, kita berangkat bertiga. Tetapi tiba-tiba Frida menunggu
di depan pintu siap-siap memarahi Caca dan Lisa juga aku. Aku bingung. Frida
udah tega ngelakuin ini semua.
Demi
kita selamat dari amukan Frida, Caca dan Lisa pisah dari aku kemudian kita
berangkat sendiri-sendiri sampai harus melewati kebun yang bisa dibilang seram.
“Ta,
aku sama Lisa misah ya, aku takut Frida marah sama kita.”
“Iya
Ca, aku juga. Aku minta maaf gara-gara aku kalian jadi kayak gini.”
“Nggak
papa kok, Ta.”
Setelah
sampai sekolah, ternyata Frida udah di depan pintu. Akhirnya dia marah-marah
sama kita bertiga.
“Ta,
ngapain kamu sama mereka,” bentak Frida.
Aku
hanya nunduk saat itu. Nggak berani jawab apapun. Betapa bodohnya aku saat itu.
“Ca,
Sa, ngapain kalian jemput Tata, aku kan udah bilang nggak ada yang boleh
deketin Tata kecuali aku.”
Mereka
pun tertunduk. Saat itu Frida ngelakuin hal yang bisa dibilang kejam. Dia
marah-marahin kita semua sampe pada nangis. Entah apa yang ada dipikiran kita
semua sampai tidak ada yang berani melawan Frida.
“Frida
kamu jahat,” lagi-lagi hatiku menjerit.
Aku
lihat teman-teman di kelas semua tertunduk menangis seperti nggak ada
keberanian sedikitpun di sana. Aku hanya bisa menangis, aku pasrah saat itu.
Aku tau pasti setelah kejadian ini tidak ada yang mau bermain denganku lagi.
Semua temanku akan menjauh dari aku dan bersikap pasif jika bertemu aku. Entahlah. Aku menangis sejadi-jadinya
pada saat itu. Apa yang dilakuian Frida telah membuat hidupku hancur
berkeping-keping mulai dari detik itu.
“Ras,
kamu nggak marah sama aku kan?” tanyaku kepada Saras sambil menahan tangis.
“Nggak
Ta,” jawabnya sangat singkat nggak seperti biasanya.
Tapi
saat itu Saras hanya menjawab singkat dan langsung pergi bersama teman yang
lain. Sedangkan aku. Entahlah. Aku hanya tertunduk di kelas sampai pulang
sekolah tidak ada teman hanya Frida, orang yang membuatku menjadi sengsara.
“Ya
allah, apa yang terjadi ?” kataku dalam hati.
“Mengapa
semua terjadi. Ya, aku hanya harus sabar,” tambahku.
“Sabar
Ta, kalau kamu sabar pasti ada jalan,” aku memotivasi diriku sendiri.
Keesokan
harinya hari minggu. Aku main ke rumah Saras.
“Saras,
Saras,” panggilku.
“Eh
kamu Ta, aku mau pergi sama teman-teman, maaf ya aku nggak bisa main hari ini.”
“Oh
gitu, aku boleh ikut ?”
“Emm,
gini Ta, aku takut ketemu Frida, jadi kamu nggak usah ikut ya. Nanti takutnya
kita semua dimarahin.”
“Oh
gitu, yaudah deh Ras kalau gitu. Aku pulang dulu ya.”
“Iya
Ras, Bye ya.”
Sebenarnya
aku belum pulang, aku hanya bersembunyi. Tak lama kemudian datang teman-teman.
Saras ikut dengan mereka. Aku ingin sekali berada disana seperti dulu, tapi
entahlah.
“Hati-hati
Ras,” kataku dalam hati, walaupun Saras tidak mengetahuinya.
“Ras
aku kangen sama kamu, mengapa semua terjadi sehingga kamu udah nggak peduli
lagi sama aku.” Aku menangis di kamar sempitku saat itu.
Tiba-tiba
budheku datang. Alhamdulillah dahulu masih ada budhe. Sekarang budhe udah nggak
di sini lagi.
“Kamu
kenapa Ta?” tanya budhe.
“Nggak
papa Dhe,” jawabku.
“Ah
nggak mungkin. Kalo ada apa-apa cerita biar plong Ta,” saran budhe kepadaku.
Akhirnya
aku menceritakan semua kepada budhe. Hanya budhe tempat curhatku. Dan budhe tau
perasaanku. Aku nggak berani cerita ke orang tuaku karena aku takut mereka
kecewa melihat anaknya seperti ini.
Keesokan
harinya, pelajaran olahraga dan saat itu olahraga basket. Saat pemilihan
kelompok aku merasa sedih, betapa sakitnya hatiku Saras tidak memlilihku menjadi
kelompoknya. Saras memang udah nggak peduli lagi sama aku. Entahlah. Saras
telah berbeda. Jujur aku kangen Saras yang dulu, yang sejak masih kecil selalu bersama
denganku, bahkan kemana-mana pun bersama, lucunya sampai Saras mandi pun aku
nungguin di depan kamar mandi rumahnya, itu adalah saat-saat terlucu sejak aku
bersama Saras. Dan sekarang entahlah, semua kejadian-kejadian menyenangkan itu
dihancurkan oleh seorang Frida. Iya, Frida. Saat itu aku berada dikelompoknya
Frida, dan akhirnya kalah. Saras dan teman-temannya merayakan kemenangannya.
Aku dulu selalu menikmatinya dengan Saras, tapi sekarang entahlah.
Dan
pada suatu hari. Terjadi pertengkaran yang hebat antara Frida dan Saras.
Entahlah aku harus berbuat apa saat itu. Aku nggak tau, aku bingung. Mereka
saling membentak, menyalahkan entah apa yang dibicarakan. Aku ingin membentak
Frida karena aku tau Frida yang salah tetapi aku nggak bisa. Dan pada suatu
titik puncak, mereka sudah tidak terelakan. Akhirnya guru mengetahui pertengkarang
hebat tersebut dan melerai mereka.
Entah
apa yang ada dipikiranku sekarang, aku tidak bisa memikirkan apa-apa.
Sepertinya teman-temanku sudah berbeda denganku. Aku merasakan setiap aku lewat
di depan mereka, mereka selalu seperti sungkan sama aku, aku pun juga takut
sama mereka. Aku bingung, entahlah mengapa mereka seperti itu. Aku menjadi
malu. Aku ingin mereka kembali seperti dulu, Saras kembali menjadi sahabat
terbaikku dan aku ingin merasakan hidup yang wajar. Tidak seperti ini.
Teringat masa kecilku kau peluk dan kau
manja, indahnya saat itu …. Terdengar lagu yang kuputar dari smartphone milikku,
lagu milik ada band itu menemani dalam kesedihanku. Tiba-tiba aku teringat
Saras.
“Saras,
kamu dimana? Padahal biasanya kamu di sini sama aku berdua.”
Kata hatiku terus bertanya-tanya tidak
jelas.
Di
sisi lain aku teringat Frida.
“Frida,
kamu yang udah buat hidupku kayak gini. Aku sedih Da! Aku ingin kamu ngembaliin
hidupku yang dulu, hatiku menjerit.
Setelah
berbulan-bulan dan akhirnya aku sekarang sudah masuk kelas 6 SD. Aku sangat
gembira karena tahun depan aku lulus. Pada awal kelas 6, teman-temanku membuat
rencana supaya Frida nggak sama aku lagi, nggak manfaatin aku lagi, nggak
ngehakimi kita semua lagi. Pas awal masuk aku memutuskan untuk memlilih jejer
Saras. Tapi entahlah saat itu aku merasa Saras bukan Saras yang dulu. Aku jejer
dia udah beda rasanya. Dia tidak sebaik dulu. Tapi akhirnya lama-kelamaan aku
biasa sama Saras. Tapi kali ini nggak bisa sedeket kayak dulu lagi. Mulai saat
itu, Frida dicuekin sampai dia benar-benar bisa berubah. Dan tidak disangka dia
berubah, dia nggak pernah marahin kita, nggak pernah manfaatin aku lagi.
Frida
telah berubah, betapa senangnya aku. Tapi sayangnya, dulu dia udah merubah
kehidupanku 180 derajat. Aku udah nggak bisa jadi Tata yang dulu. Temenku juga
sekarang menjadi agak sungkan kepadaku. Sifatku itu kebawa terus sampai SMP,
semua karena Frida. Tapi aku udah memaafkannya, walaupun masih sering teringat
diangkanku betapa kejamnya dia dulu. Sering muncul rasa iri melihat
teman-temanku yang dengan mudahnya bergaul satu sama lain, tetapi aku mencoba
untuk menghilangkan rasa iri itu. Sekarang aku udah jauh lebih bahagia karena
mempunyai teman yang peduli dan tulus berteman sama aku. Sekarang aku sudah
menjadi Tata yang menurutkan jauh lebih baik. Pengalaman buruk di SD itu pun kujadikan
pengalaman berharga dan mengapa semua kejadian itu bisa terjadi? Entahlah.
Nama :
Anisa Okta Ayusti
No/Kls :
05/IX E
Itu cerpen buatanku asli loh. Semoga menginspirasi ya.
Maaf kalo ada yang typo-typo dikit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar